ASPEK PSIKOLOGI TOKOH UTAMA
DALAM CERPEN MENANTI KEMATIAN KARYA JUJUR PRANANTO
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Karya sastra mempunyai dunia tersendiri yang berbeda dengan karya-karya bukan sastra. Karya sastra adalah kehidupan buatan atau rekaan sastrawan. Kehidupan dalam karya sastra adalah kehidupan yang telah diwarnai dengan sikap penulisnya, latar belakang pendidikannya, keyakinan dan sebagainya. Oleh karena itu kenyataan dan kebenaran dalam karya sastra tidak mungkin disamakan dengan kenyataan atau kebenaran yang ada di sekitar kita. Kebenaran dalam karya sastra adalah keyakinan bukan kebenaran indrawi seperti yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari (Suharianto,1982:11).
Di dalam kehidupan manusia terdapat berbagai pengalaman dan permasalahan. Melalui karya sastra, manusia dapat belajar dan menghayati berbagai masalah kehidupan yang sengaja ditawarkan pengarang. Cerpen merupakan bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang, kebenaran yang telah diyakini keabsahannya sesuai dengan panangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi dan tidak dianggap benar di dunia nyata dapat terjadi dan dianggap benar di dunia fiksi.
Melalui karyanya, sastrawan menampilkan perilaku, kepribadian, dan fenomena kejiwaan manusia melalui tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam cerita yang secara imajinatif mampu menimbulkan citra atau bayangan-bayangan tertentu di dalam benak penikmatnya. Ia mampu membangkitkan perasaan-perasaan senang, sedih, marah, benci, dendam, dan sebagainya yang tercipta bukan karena adanya persamaan atau pertautan nasib, melainkan pengaruh teknik pengarang bercerita, piihan kata-katanya, susunan kalimatnya, penampilan tokoh-tokoh ceritanya dan sebagainya. Dalam hal ini sastrawan telah mengedepankan aspek-aspek psikologis dalam karya sastra.
Dalam cerpen Menanti Kematian karya Jujur Prananto, aspek-aspek psikologis terungkap dalam tokoh utama yang mengalami kebimbangan dalam menenukan pilihan. Tokoh utama mengalami pergulatan batin yang hebat dalam menentukan pilihan untuk keluar dari masalahnya. Ini terlihat dari cuplikan cerita berikut:
Budiman seketika terdiam. Temannya yang bekerja di agen tenaga kerja dibiarkannya terus bicara di telepon dengan penuh semangat. Tentang gambaran masa depan yang sangat cerah. Tentang jaminan kesejahteraan yang sudah jelas membayang di depan mata. Tentang sekian tahun lagi pulang ke Indonesia sebagai orang kaya..
Tetapi Budiman ak lagi menyimaknya. Perhatiannya lebih terarah ke sosok pria renta yang bebaring lemah di hadapannya. Dengan selang oksigen menempel di hidung. Dengan cairan infus yang mengalir lewat jarum yang menancap di pergelangan tangan. Dengan mata mengatup rapat. Dan kulit wajah yang pucat.
B. Rumusan Masalah
Dalam tulisan ini permasalahan yang diangkat adalah bagaimanakah wujud aspek psikologis pada tokoh utama dalam cerpen Menanti Kematian karya Jujur Prananto.
II. Pembahasan
A. Landasan Teori
Cerpen adalah salah satu bentuk karya sastra. Unsure pembangun dalam cerpen secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik sebuah cerpen adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Unsur yang dimaksud misalnya tema, plot, penokohan, latar, sudut pandang penceritaan, gaya bahasa dan lain-lain. Sedangkan unsur ekstrisik adalah unsur-unsur yang berada d luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan karya sastra namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Menurut Wellek and Warren, unsur ekstrinsik karya sastra antara lain 1) keadaan subjektif individu pengarang 2) keyakinan 3) pandangan hidup 4) unsur biografi pengarang 5) psikologi pengarang 6) keadaan lingkungan pengarang, seperti ekonomi, politik, dan social 7) pandangan hidup bangsa 8) berbagai karya seni yang lain (Nurgiyantoro, 1994:24).
Dalam karya sastra, termasuk cerpen memuat aspek psikologis karena karya sastra selalu membahas tentang peristiwa kehidupan manusia yang menjadi cermin jiwanya. Oleh karena itu, karya sastra memiliki fungsi psikologis artinya karya sastra menjadi wahana menyampaikan pesan kejiwaan seperti rasa gembira, marah, takut, malu, dan sebagainya. Karya sastra merupakan hasil ungakapan kejiwaan pengarang yang berarti di dalamnya susunan kejiwaan pengarang baik pikir, suasana batin, atau suasana emosi (Roekhan, 1990:91).
Psikologi dan karya sastra memiliki hubungan fungsional, yaitu sama-sama berguna untuk mempelajari keadaan jiwa seseorang. Perbedaannya, gejala kejiwahan dalam psikologi adalah kejiwaan riil sedangkan kejiwaan dalam karya sastra bersifat imajinener. Keduanya saling melengkapi dan saling mengisi untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas dalam tehap kejiwaan manusia karena kemungkinan apa yang ditangkap oleh pengarang tidak dapat diamati oleh psikolog atau sebaliknya (Roekhman, 1990:93)
Aspek-aspek psikologis yang terkandung dalam karya sastra tampak melalui tokoh-tokohnya. Tokoh dalam cerita inilah yang mengemban dan menggambarkan peristiwa, perilaku, dan fenomena kejiwaan manusia dalam cerita fiksi.
B. Analisis
Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia sebagai manifestasi kejiwaannya (Bimo Walgito, 1993:9). Sedangkan psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati karya sastra dari sudut psikologi. Untuk dapat melihat dan mengenal manusia lebih mendalam diperlukan psikologi. Dalam karya sastra, aspek psikologi lebih menekankan pada bentuk-bentuk perilaku manusia yang ditampilkan melalui tokoh-tokoh dalam cerita. Oleh karena itu dalam kajian ini dititikberatkan pada masalah kepribadian tokoh dalam cerita.
Tokoh adalah pelaku rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan di berbagai pristiwa. Berdasarkan fungsi atau penting tidaknya kehadiran, tokoh cerita dibedakan:
1. Tokoh utama
Tokoh utama merupakan tokoh yang memegang peran penting dalam sebuah cerita (Sudjiman, 1990:64). Menurut Aminuddin (1987:80) untuk menentukan tokoh utama dalam cerita dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu 1) tokoh yang paling sering muncul dalam cerita 2) tokoh yang sering diberi komentar 3) melalui judul cerita. Dalam cerpen Menanti Kematian karya Jujur Prananto adalah Budiman.
2. Tokoh bawahan
Tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita fiksi tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukng tokoh utama (Sudjiman, 1998). Dalam cerpen Menanti Kematian karya Jujur Prananto, tokoh bawahan adalah Sarkawi dan Bapak dari Budiman.
Dalam cerpen Menanti Kematian karya Jujur Prananto, aspek psikologi terungkap melalui tokoh-tokoh dalam cerita, terutama tokoh utama. Dalam cerpen Menanti Kematian karya Jujur Prananto, tokoh utama adalah Budiman.
Budiman merupakan tokoh utama karena tokoh ini yang ditonjolkan dalam cerpen, kisahnya mendominasi isi cerita. Budiman dikisahkan sebagai anak ketiga dari empat bersaudara. Ketiga saudaranya berada di luar negeri. Ia hanya tinggal bersama bapaknya. Ia juga mengalami masalah keuangan setelah perusahaan tempatnya bekerja bangkrut.
Tak lama setelah ia meminjam uang perusahaan seratus juta lebih untuk membayar uang muka pembelian rumah, perusahaan itu bangkrut. Mantan bosnya memaksakan pengembalian semua piutang paling lama enam bulan. Tak ayal, dalam kondisi menganggur Budiman pontang-panting membayar sekaligus utang ke mantan bosnya dan cicilan kredit rumah. Istrinya tak tahan diteror para preman penagih utang, lalu memilih pulang kampong bersama anak-anak dan melupakan begitu saja metuanya yang tak berdaya. Sekian bulan kemudian ia terpaksa menyerahkan rumahnya ke bank lalu pindah ke sebuah kontrakan kecil. Sejak itu ia tinggal berdua dengan bapaknya, bertahan hidup dari penghasilan kerja serabutan ditambah kiriman dari kedua kakaknya yang datingnya tak menentu dan nilainya tak seberapa.
Budiman digambarkan sebagai seorang yang berbakti kepada orang tua. Ia merawat ayahnya sendiri walaupun ia sendiripun sedang dalam masalah. Setelah ada tawaran pekerjaan yang akan membebaskannya dari masalah keuangan bahkan yang akan membuatnya kaya ia masih berfikir menolaknya karena ia tidak tega meninggalkan ayahnya sendiri yang sedang sakit.
Budiman menghembuskan nafasnya keras-keras. ’’Jangan terlalu yakin saya mau menerima kerjaan itu”.
“Kenapa???”
“ saya enggak bisa ninggalin Bapak saya sendirian…..”
Selain itu Budiman juga di gambarkan sebagai seorang yang pekerja keras. Budiman bekerja serabutan dengan pendapatan kurang dari satu juta per bulan, ia harus membiayai biaya rumah sakit bapaknya yang besar dan harus segera meluansi hutang-hutangnya.
Budiman berdiri dan berjalan menghampiri petugas keuangan.
“Sampai kemarin malam total biaya senbilan juta lima ratus dua puluh tujuh rupiah, di luar obat-obatan yang yang di tebus langsung ke apotek”.
Budiman meninggalkan ruang administrasi rumah sakit dengan langkah lesu. Tetapi, lalu ia terhenti oleh sbuah panggilan yang serasa sangat dikenalnya.
“Budiman!”
Budiman menoleh. Tubuhnya seketika lemas. Si penagih hutang itu…!
Dalam cerpen Menanti Kematian karya Jujur Prananto, tokoh utama yaitu mengalami konflik dalam dirinya. Budiman bingung, di satu sisi ia harus merawat ayahnya yang sudah tua dan sekarang berada dirumah sakit yang dianggap ajalnya telah dekat, di sisi lain ia harus melunasi utang kepada bosnya dan keluar dari masalah ekonominya.
Budiman menangis dalam hatinya. Ia mulai membenarkan omongan Sarkawi yang menganjurkan meningggalkan bapaknya untuk menerima pekerjaan di luar negeri.
Si penagih utang ngeloyor pergi. Budiman mengejarnya. “Heh! Jangan ganggu lagi istriku!”
“Terserah kamu mau mbelain bapakmu atau istrimu. Kalau aku jadi kamu, aku pasti pilih belain istri. Tiap bulan tinggal kamu transfer gajinya dari luar negri. Aku yakin bapakmu enggak peduli mau dirawat sama anaknya atau bukan. Belum tentu juga dia ingat sama kamu. Lha wong sadar aja enggak.”
Kebingungan Budiman bertambah saat bapaknya mememinta untuk pulang dari rumah sakit dan Sarkawi mengatakan bahwa meminta pulang itu adalah tanda-tanda bapaknya akan meniggal. Sarkawi menambahkan bahwa semua ini adalah yang Budiman harapkan. Kebingungan bercampur dengan kemarahan saat Budiman mendengar perkataan sarkawi itu.
“Ssst… memang kamu enggak merasa semua ini seperti sudah diatur sama yang di atas? Kalau bapakmu pulang ke rumah terus meniggal, memang begitu kan yang kamu harapkan? Supaya kamu bisa lega berangkat ke luar negri.”
Budiman hendak berteriak marah, tetapi keburu terdengar bapaknya berbisik lagi. ”Pulang, Bud... Pulang.”
Setelah di rumah bapak Budiman kembali tak sadarkan diri dan ia panik ingin membawa bapaknya ke rumah sakit lagi. Akan tetapi Sarkawi mencegahnya untuk membawa bapaknya kembali lagi ke rumah sakit.
Dan kepanikan Budiman berubah menjadi kemarahan lagi saat Sarkawi mengatakan kembali bahwa keadaan bapaknya inilah yang diharapkan. Bapaknya meniggal dan ia bisa lega berangkat ke luar negri.
“Memang apa yang kamu harapkan dengan membawa bapakmu kembali lagi ke rumah sakit? Supaya sadar lagi? Supaya sembuh? Terus kamu binging lagi gimana harus berangkat ke luar negeri?”
Kali ini Budiman benar-benar marah dan mendorong tubuh sarkawi. ”Kamu memang sama sekali enggak punya perasaan.”
Akan tetapi pada kenyataanya Budiman mengikuti saran dari sarkawi, membiarkan bapaknya tinggal di rumah. Batin Budiman semakin tertekan ketika waktu untuk berangkat ke luar negri tiba sedangkan ayahnya tetap bergeming dari maut.
Dalam cerpen ini, dikisahkan akhir cerita bahwa di suatu malam Budiman akhirnya meningggal sedangkan bapaknya yang dikisahkan sedang menanti ajal tetap hidup. Meskipun dalam cerpen tidak dijelaskan dengan pasti apa yang menjadi sebab kematian Budiman tetapi dapat diketahui bahwa ia begitu sangat terbeban dengan masalah yang dihadapinya. Memilih antara bapaknya yang berarti tetap dengan keadaan yang sangat susah atau pergi meningggalkan bapaknya dan berarti hidup dalam kesenangan bahkan kaya.
”Jangan lupa Bud. Lima hari lagi kamu berangkat ke Dubai!”
Rombongan angota pengajian berdatangan ke rumah Budiman. Siang malam mereka berdoa, memohon agar ayah Budiman diringankan penderitaannya dan segera dipilihkan jalan terbaik untuknya. ”Kalau Engkau masih ingin memberinya kesembuhan, segera berilah kesembuhan, ya Allah. Kalau Engkau ingin memanggilnya, panggilah dia dalam keadaan bersih jasmani dan rohani.”
Tetapi, ayah Budiman tetap saja bergeming. Sampai hari keenam belas... hari ketujuh belas... hari kedelapan belas...
”Tiket pesawat sudah di-booking, Bud. Besok lusa kamu tinggal berankat ke bandara!”
Sebuah ambulans dengan sirene meraung-raung melesat kencang dan kemudian berhenti di depan rumah Budiman. Saat itu jam menunjukkan pukul sebelas menjelang tengah malam.
“Budiman! Kok enggak di angkat? Sudah tidur? Besok pagi kita beretemu di bandara ya. Jangan sampai telat.”
Ketua RT berikut belasan warga tergopoh-gopoh menyambut para petugas medis dan mempersilahkan mereka masuk ke dalam rumah. Seorang dokter segera mengambil stetoskop dan melakukan pemeriksaan jantung dan lainnya.
”Sudah meniggal,” ucap dokter pelan.
Para hadirin serentak bergumam, ”Innalillahi....”
Ketua RT menghampiri ayah Budiman, mendekatkan mulutnya ke telinga pria tua ini, tetapi begitu sulit untuk mulai bicara. ”Budiman, Pak...”
Ayah Budiman perlahan membuka matanya.
”Mana Budiman...? kenapa dia?”
III. Penutup
Simpulan
Dalam cerpen Menanti Kematian karya Jujur Prananto, dapat di tarik kesimpulan bahwa tokoh utama yaitu Budiman mengalami pergelutan batin yang sangat hebat karena ia tak dapat memilih apa yang harus dilakukannya. Budiman mengalami kebimbangan, kemarahan, dan kesedihan.
Tokoh utama, Budiman tidak mampu menghadapi masalahnya. Di saat yang sama Budiman menghadapi tekanan waktu. Ajal ayahnya yang diperkirakan sebentar lagi akan tiba pada kenyataanya ayahnya tetap hidup. Di lain sisi waktu keberangkatan keluar negri yang merupakan kesempatan untuk mengatasi semua masalah keuangan telah tiba. Di saat inilah Budiman sangat tertekan dan di temukan meninggal di rumahnya.
Ajal memang tak ada yang tahu kapan datangnya. Ayahnya yang telah tua dan sakit yang diperkirakan kematian akan segera menjemputnya pada kenyataanya tetap hidup. Sedangkan Budiman yang sehat secara fisik ditemukan meniggal saat keberangkatannya ke luar negeri telah tiba. Meskipun tidak dijelaskan secara pasti apa penyebab kematian Budiman, akan tetapi pembaca dapat memperoleh gambaran bahwa Budiman sangat terbebani dengan masalahnya. Pembaca dapat menangkap bahwa kematian Budiman terkait dengan konflik batinnya.
Daftar Pustaka
Noor, redyanto. 2007. Pengkajian Sasta. Semarang: Fasindo Universitas Diponegoro Semarang.
Prananto, jujur. 2009. Cerpen: Menanti Kematian. Jakarta: Kompas.
Sri rahayu, endah. 2007. Aspek Psikologi Dalam Novel Bidadari Karya Titie Said. Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar