Cari Blog Ini

Sabtu, 07 Mei 2011

Pembelajaran Yang "Gak Bosenin"

Salah satu tugas utama guru adalah berusaha mengembangkan perilaku peserta didiknya. Dalam hal ini, Abin Syamsuddin Makmun (2003) menyebutkan bahwa tugas guru antara lain sebagai pengubah perilaku peserta didik (behavioral changes). Oleh itu, agar perilaku peserta didik dapat berkembang optimal, tentu saja seorang guru seyogyanya dapat memahami tentang bagaimana proses dan mekanisme terbentuknya perilaku para peserta didiknya. Untuk memahami perilaku individu dapat dilihat dari dua pendekatan, yang saling bertolak belakang, yaitu:
1. behaviorisme
2. holistik atau humanisme.
Kedua pendekatan ini memiliki implikasi yang luas terhadap proses pendidikan, baik untuk kepentingan pembelajaran, pengelolaan kelas, pembimbingan serta berbagai kegiatan pendidikan lainnya.
1. Mekanisme Pembentukan Perilaku Menurut Aliran Behaviorisme
Behaviorisme memandang bahwa pola-pola perilaku itu dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dengan mengkondisikan atau menciptakan stimulus-stimulus (rangsangan) tertentu dalam lingkungan.
Yang dimaksud dengan lingkungan di sini dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu :
a. Lingkungan objektif (umgebung=segala sesuatu yang ada di sekitar individu dan secara potensial dapat melahirkan S).
b. Lingkungan efektif (umwelt=segala sesuatu yang aktual merangsang organisme karena sesuai dengan pribadinya sehingga menimbulkan kesadaran tertentu pada diri organisme dan ia meresponsnya)
Perilaku yang berlangsung seperti dilukiskan dalam bagan di atas biasa disebut dengan perilaku spontan. Contoh: seorang murid sedang mengikuti pembelajaran menggambar di ruangan kelas yang terasa panas, secara spontan murid tersebut mengipas-ngipaskan buku untuk meredam kegerahannya.
Ruangan kelas yang panas merupakan lingkungan dan menjadi stimulus bagi murid tersebut di luar ruang (halaman dan sebagainya).
Holistik atau humanisme memandang bahwa perilaku itu bertujuan, yang berarti aspek-aspek intrinsik (niat, motif, tekad) dari dalam diri individu merupakan faktor penentu untuk melahirkan suatu perilaku, meskipun tanpa ada stimulus yang datang dari lingkungan. Holistik atau humanisme menjelaskan mekanisme perilaku individu dalam konteks what (apa), how (bagaimana), dan why (mengapa).
Secara skematik rangkaian, proses dan mekanisme terjadinya perilaku menurut pandangan Holistik, dapat dijelaskan dalam bagan berikut :



Berdasarkan bagan di atas tampak bahwa terjadinya perilaku individu diawali dari adanya kebutuhan. Setiap individu, demi mempertahankan kelangsungan dan meningkatkan kualitas hidupnya, akan merasakan adanya kekurangan-kekurangan atau kebutuhan-kebutuhan tertentu dalam dirinya. Dalam hal ini, Maslow mengungkapkan jenis-jenis kebutuhan-individu secara hierarkis, yaitu:
1) kebutuhan fisiologikal, seperti : sandang, pangan dan papan
2) kebutuhan keamanan, tidak dalam arti fisik, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual
3) kebutuhan kasih sayang atau penerimaan
4) kebutuhan prestise atau harga diri, yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status
5) kebutuhan aktualisasi diri.
Dalam pandangan holistik, disebutkan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam dirinya, setiap aktivitas yang dilakukan individu akan mengarah pada tujuan tertentu. Dalam hal ini, terdapat dua kemungkinan, tercapai atau tidak tercapai tujuan tersebut. Jika tercapai tentunya individu merasa puas dan memperoleh keseimbangan diri (homeostatis). Namun sebaliknya, jika tujuan tersebut tidak tercapai dan kebutuhannya tidak terpenuhi maka dia akan kecewa atau dalam psikologi disebut frustrasi.
Secara fisiologis lingkungan mencakup segala kondisi dan material jasmaniah seperti gizi, vitamin, air dan zat-zat lain.
Secara psikologis lingkungan mencakup segenap stimulasi yang di terima oleh individu mulai sejak di lahirkan hingga mati. Stimulasi itu misalnya berupa sifat-sifat "gennes", interaksi "gennes", selera keinginan dan perasaan, tujuan-tujuan, minat kebutulian, keamanan, emosi dan kapasitas intelektual.
Secara sosiokultural, lingkungan mencakup stimulasi, interaksi dan kondisi eksternal dalam hubunganya dengan perlakuan ataupun karya orang lain. Pola keluarga, pergaulan keloinpok, masyarakat dan lembaga pendidikan adalah merupakan lingkungan.
Pendapat lain tentang lingkungan adalah menurut Sartain (seorang ahli psikologi Amerika) mengatakan bahwa yang dimaksud lingkungan sekitar ialah meliputi semua kondisi dalam dunia ini yang dengan cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku manusia, pertumbuhan, perkembangan kecuali gen-gen. Dan bahkan gen-gen dapat pula dipandang sebagai menyiapkan lingkungan bagi gen yang lain.
2. Pembelajaran pola modeling
Secara singkat pembelajaran modeling atau pemodelan dalam pembelajaran konstekstual diartikan bahwa proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar. Mengerjakan apa yang guru inginkan agar murid mengerjakannya (Depdiknas, 2007: 21)
Sintaks ini bertujuan mengenalkan kepada murid model keterampilan berbahasa yang baik. Dari model tersebut murid dapat melakukan penjiplakan (copying), pengadaptasian, baru kemudian mengembangkan keterampilan sendiri. Fase pemodelan dapat dilakukan dengan pemutaran kaset/CD/VCD, pendemonstrasian, penghadiran, narasumber/praktisi/model, atau penganalisisan model. Sintaks ini menjadi sintaks utama dalam pembelajaran bahasa karena belajar bahasa adalah belajar keterampilan. Dalam belajar keterampilan, pemagangan melalui pengamatan dan penelaahan model merupakan langkah atau fase yang diyakini tepat. Sintaks ini dapat dilakukan dengan cara individual maupun kelompok.
Prinsip dasar pemodelan secara fundamental, pemodelan di dalam kajian-kajian proses teknik pembelajaran adalah penggambaran kinerja suatu aktivitas, sistem atau proses dan membangun persamaan matematis yang dapat menggambar-kan kinerja suatu proses (secara fisik).
Pola adalah suatu rancangan atau desain. Pola modeling adalah suatu rancangan model atau pemodelan. Pengertiannya adalah suatu rancangan pemodelan yang diberikan oleh guru kepada peserta didik untuk dijadikan contoh yang harus ditiru oleh murid. Pola dalam pembelajaran ini dilakukan pada awal guru menyajikan bahan pembelajaran sebagai suatu motivasi yang membangun minat murid untuk berbuat dan secara aktif menggerakkan aktifitasnya secara individu.
3. Gerak fisik motorik melalui tari
Anak usia dini yang duduk di Sekolah Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar
(kelas kecil) berusia antara 4-8 tahun, sebagaimana dinyatakan oleh para ahli pada usia itu anak belajar melalui bermain (Berk, 2007).
Pada dasarnya belajar adalah untuk membangun kecerdasan, dengan demikian belajar menari bagi anak usia dini adalah belajar sambil bermain melalui tari untuk melatih kecerdasan anak. Belajar melalui tari hendaknya merupakan salah satu stimulasi untuk melatih kecerdasan anak sejak dini, baik secara kognisi, psikomotorik maupun afektif.
Tari memberikan ruang kepada anak untuk bermain dan berimajinasi, misalnya dengan berekspresi diri menjadi peran tertentu dalam sebuah tarian dan mengembangkan sebuah gagasan melalui kreativitas gerak tari. Selain itu tari melatih kognisi dan konsentrasi anak untuk fokus menguasai urutan gerak tari dari awal sampai akhir. Dengan demikian melalui belajar menari anak-anak belajar untuk membiasakan diri berlatih menguasai gerak ataupun urutan rangkaian gerak sebagai materi dasar sebuah tarian.
Belajar menari di Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar semata-mata bukanlah untuk menguasai sebuah produk tarian jadi ( tari bentuk ) untuk tujuan pertunjukan. Namun mempunyai tujuan yang lebih luas dalam proses membentuk pribadi anak melalui pengalaman belajar menari dan berpentas, sebagaimana dinyatakan oleh Rudolf Laban (1976) di dalam bukunya yang berjudul Modern Educational Dance. Belajar melalui tari berarti belajar untuk berekspresi diri melalui gerak di dalam ruang. Melalui ekspresi diri dalam menari anak belajar beraktualisasi diri khususnya pada pertunjukan tari sebagai hasil belajar anak.
Menari pada dasarnya dapat dilakukan secara individu, berpasangan maupun kelompok. Sehingga selain sebagai ekspresi individu, tari berfungsi sebagai latihan bagi anak untuk bersosialisasi membangun kebersamaan sambil bermain bagi anak baik dengan pasangannya maupun kelompoknya dalam menari dan belajar untuk mengatasi masalah (problem solving) yang timbul dari dirinya maupun kelompoknya dengan bimbingan guru.
Selain itu tari sangat berhubungan erat dengan musik sebagai pengiringnya Melalui gerakannya anak belajar memahami ritme maupun suasana yang ada dalam musik pengiring tarinya.
4. Bermain
“ Bermain” (play) merupakan istilah yang digunakan secara bebas sehingga arti utamanya mungkin hilang. Arti yang paling tepat ialah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir.
Bermain tentunya merupakan hal yang berbeda dengan belajar dan bekerja. Menurut Hughes (1999), seorang ahli perkembangan anak dalam bukunya Children, Play, and Development, mengatakan harus ada 5 (lima) unsur dalam suatu kegiatan yang disebut bermain. Kelima unsur tersebut adalah :
Tujuan bermain adalah permainan itu sendiri dan si pelaku mendapat kepuasan karena melakukannya (tanpa target), bukan untuk misalnya mendapatkan uang.
a. Dipilih secara bebas. Permainan dipilih sendiri, dilakukan atas kehendak sendiri dan tidak ada yang menyuruh ataupun memaksa.
b. Menyenangkan dan dinikmati.
c. Ada unsur kayalan dalam kegiatannya.
d. Dilakukan secara aktif dan sadar.
Di luar pendapat Hughes, ada ahli-ahli yang mendefinisikan bermain sebagai apapun kegiatan anak yang dirasakan olehnya menyenangkan dan dinikmati (pleasurable and enjoyable). Bermain dapat menggunakan alat (mainan) ataupun tidak. Hanya sekedar berlari-lari keliling di dalam ruangan, kalau kegiatan tersebut dirasakan menyenagkan oleh anak, maka kegiatan itupun sudah dapat disebut bermain.
Bermain dilakukan secara suka rela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari luar atau kewajiban. Piaget menjelaskan bahwa bermain “terdiri atas tanggapan yang diulang sekedar untuk kesenangan fungsional.” Menurut Bettelheim kegiatan bermain adalah kegiatan yang “tidak mempunyai peraturan lain kecuali yang ditetapkan pemain sendiri dan tidak ada hasil akhir yang dimaksudkan dalam realitas luar.” Bermain secara garis besar dapat dibagi kedalam dua kategori, Aktif dan Pasif (“Hiburan”). Apa saja kategori tersebut dan karakteristiknya lihat tabel berikut :
Tabel 1. Kategori Bermain
BERMAIN AKTIF BERMAIN PASIF
Dalam bermain aktif, kesenangan timbul dari apa yang dilakukan individu, apakah dalam bentuk kesenangan berlari, atau membuat sesuatu dengan lilin atau cat. Anak-anak kurang melakukan kegiatan bermain secara aktif ketika mendekati masa remaja dan mempunyai tanggung jawab lebih besar di rumah dan di sekolah serta kurang bertenaga karena pertumbuhan pesat dan perubahan tubuh. Dalam bermain pasif atau “hiburan”, kesenangan diperoleh dari kegiatan orang lain. Pemain menghabiskan sedikit energi. Anak yang menikmati temannya bermain, memandang orang atau hewan di televise, menonton adegan lucu atau membaca buku adalah bermain tanpa mengeluarkan banyak tenaga, tetapi kesenangannya hamper seimbang dengan anak yang menghabiskan sejumlah besar tenaganya ditempat olah raga atau tempat bermain

Pada semua usia, anak melakukan permainan aktif dan pasif. Proporsi waktu yang dicurahkan ke masing-masing jenis bermain itu tidak bergantung pada usia, tetapi pada kesehatan dan kesenangan yang diperoleh dari masing-masing kategori. Meskipun umumnya permainan aktif lebih menonjol pada awal masa kanak-kanak namun hal itu tidak selalu benar. Sebagai contoh, anak kecil mungkin lebih menyukai menonton televisi ketimbang bermain aktif karena mereka belum belajar permainan yang disukai teman sebayanya.
Papalia (1995), seorang ahli perkembangan manusia dalam bukunya Human Development, mengatakan bahwa anak berkembang dengan cara bermain. Dunia anak-anak adalah dunia bermain.. Dengan bermain, anak-anak menemukan dan mempelajari hal-hal atau keahlian baru dan belajar (learn) kapan harus menggunakan keahlian tersebut, serta memuaskan apa yang menjadi kebutuhannya (need). Lewat bermain, fisik anak akan terlatih, kemampuan kognitif dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain akan berkembang.
Berangkat dari pendapat para ahli, tentunya pembelajaran yang tetap memperankan peserta didik tetap sebagai anak yang suka bermain dan belajar melalui bermain juga. Seorang guru di era sekarang dituntut mampu mencptakan pembelajaranyang berawal dari permainan. Hal ini seperti yang digalakkan pada pembelajaran sekarang yaitu PAKEM. Masalah terbesar saat ini adalah pembelajaran yang tidak menyenangkan dan terkesan membosankan.
Pada intinya pemeblajaran harus tetap menyenangkan seperti ketika anak sedang bermain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar